Cerita Prasmul
Perjalanan Jatuh-Bangun Yohanes Sugihtononugroho Dalam Memakmurkan Petani Indonesia

Perjalanan Jatuh-Bangun Yohanes Sugihtononugroho Dalam Memakmurkan Petani Indonesia

Rendang, pecel ayam, sayur labu, sop kaki kambing, tempe, dan tahu. Daftar makanan tersebut mungkin sering kamu konsumsi sehari-hari. Nikmat, murah, dan pastinya bikin perut kenyang! Tapi tahukah kamu, para petani yang menghasilkan bahan baku justru belum tentu pernah menyantap makanan lezat tersebut? Ketika mereka yang memakmurkan sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi orang paling miskin di negara ini, something must be terribly wrong, bukan begitu?

Insan yang “tersentil” oleh permasalahan ini adalah Yohanes Sugihtononugroho. Bersama partnernya, Risyad Ganis, ia mendirikan Crowde, sebuah platform digital yang bergerak untuk membantu permodalan para petani berdasarkan semangat gotong royong. Namun bicara soal bisnis startup, perjalanan sukses Yohanes tidak mulus bak kain sutera. Melewati berbagai rintangan, alumnus S1 Business 2010 Prasmul ini harus jatuh, bangun, dan belajar lagi dan lagi sebelum memantapkan bisnisnya.

Ingin Merasakan Kebahagiaan Setiap Hari

Passion Yohanes terhadap bidang pertanian tidak muncul secara tiba-tiba di malam hari, melainkan ditanamkan sejak SMA, kemudian dipupuk saat berkuliah di Prasmul.

“Waktu SMA, saya wajib mengikuti kegiatan live-in di desa. Sejak itu, saya mulai terekspos dengan kehidupan petani,” lulusan SMA Kanisius Jakarta Pusat ini menceritakan. “Begitu juga di Prasmul, kami harus mengikuti mata kuliah Community Development. Saya ingat, waktu itu kami dikirim ke Desa Sukaluyu, Cianjur. Ini pertama kalinya saya merasakan indahnya memberikan impact nyata pada orang-orang pedesaan.”

Crowde merupakan platform digital yang bergerak untuk membantu permodalan para petani Indonesia. (Sumber gambar: Instagram @temancrowde)

Perasaan bahagia tidak bisa saya temukan di pekerjaan lain. Saya ingin merasakan itu setiap hari.

Community Development merupakan kegiatan untuk melatih kepekaan, kepedulian, dan empati mahasiswa untuk komunitas sekitarnya. Yohanes mengenang kembali pengalamannya dengan seorang Ibu beranak tiga yang kesulitan mencari nafkah. Bersama teman kelompoknya, ia mengajarkan cara budidaya jamur tiram di rumah agar sang ibu tetap bisa mendapatkan penghasilan sehari-hari.

Bukan di bidang pertanian saja, Crowde juga mendukung perternakan, perkebunan, perikanan, dan proyek agrikultur lainnya. (Sumber gambar: Instagram @temancrowde)

“Bisnis Ibu tersebut kemudian tumbuh dan berkembang. Kami pun masih sering berkontak hingga sekarang,” ungkap pria kelahiran 1992 ini.

Terpuruk Sebelum Berdiri Kembali

Usai menerima titel sarjana, Yohanes melanjutkan proyek tugas akhirnya dari mata kuliah Business Plan yaitu perternakan ayam. Di luar prediksi, bisnis yang tampak menjanjikan tersebut dilanda musibah, menghasilkan kerugian mematikan terhadap proyek yang telah ia rintis. Di masa kelam ini ia menyadari bahwa “profit” tidak bisa dijadikan goal utama dalam berbisnis. Memikul pelajaran tersebut di pundaknya, Yohanes yang sempat terpuruk, berdiri kembali dengan goal baru: helping others.

Yohanes melakukan perjalanan ke pedesaan selama tiga bulan setelah mengalami kerugian besar pada bisnis sebelumnya.

“Saya memutuskan untuk berkeliling selama tiga bulan dari desa ke desa, tinggal dari rumah satu petani ke petani lainnya,” terang pria yang hobi baca buku ini. “Pada akhirnya, saya bertemu satu petani yang baru mendapatkan modal dari renternir alias ‘lintah darat’. Alangkah terkejutnya saya setelah mengetahui bahwa Pak Petani tersebut menjadikan anaknya sebagai jaminan pembayaran utang!”

Melihat bahwa realita pahit ini merupakan keseharian “normal” bagi para petani desa, ide Crowde pun tercetus di benak Yohanes. Dalam upaya mengeliminasi keberadaan lintah darat sebagai sumber funding bercocok tanam, Crowde mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk berinvestasi atau meminjamkan uang untuk para petani dengan satu klik. Bukan hanya itu, para investor maya bahkan turut menerima keuntungan melalui sistem “bagi hasil”.

Pada tahun 2017, Crowde ditunjuk sebagai”The Best Agriculture-related Social Enterprise” oleh DBS-NUS Social Venture Challenge Asia. (Sumber gambar: Instagram @temancrowde)

Pada dasarnya, masyarakat ikut turun tangan untuk patungan memodalkan para petani.

Menoreh Nama Dalam Daftar 30 Under 30 Asia

Proses pengembangan Crowde sendiri bukan tamasya. Tanpa adanya bisnis serupa untuk dijadikan benchmark, tahun-tahun pertama Crowde penuh dengan validasi. Belum lagi friksi dari pihak lintah darat pedesaan yang menolak mentah-mentah sistem funding dari Crowde. Yohanes menyayangkan, salah satu kantor perwakilannya di Bogor sempat diserang dan dibakar karena hal tersebut.

“Tapi kami harus tetap maju,” tekan mantan Prasmulyan yang pernah bercita-cita jadi bankir ini. “Kami menyadari masalah tersebut, tapi pada saat yang sama, kami tahu bahwa Crowde menerima banyak dukungan. Jadi kami tidak boleh menyerah dan berhenti di tengah jalan.”

Yohanes dan Risyad dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia.

Masuk daftar tersebut memang salah satu hal yang ingin kami capai. Tapi kami nggak menyangka bisa masuk di umur 25!

Lambat laun, hasil kerja Crowde terdengar ke seluruh Asia, di mana sebagian besar negaranya juga bersandar pada jerih payah petani. Tapi yang paling tak disangka bagi Yohanes adalah ketika nama ia dan sang partner masuk ke dalam daftar 30 Under 30 Asia dari Forbes. Sang Co-founder mengungkapkan bahwa business model Crowde yang universal bantu mendongkrak exposure ke seluruh dunia.

“Pengasahan soft-skills dari Prasmul pun juga berperan banyak terhadap kemampuan saya berkomunikasi dan menyampaikan ide,” tuturnya. “Kalau pintar, punya ide bagus, namun tidak bisa membuat orang lain percaya dengan produk tersebut, maka sia-sia saja, kan?”

Terus Refleksi Diri dan Jaga Kerendahan Hati

Dari 30 petani, kini ada sekitar 14 ribu pengikut di seluruh Indonesia. Dari 127 pendana, sekarang jumlahnya sudah mencapai 20 ribu orang. Berawal hanya berdua, pegawai Crowde saat ini lebih dari 50 karyawan. Walaupun tampak menakjubkan bagi orang luar yang sedang mengintip ke dalam, bagi Yohanes, masih banyak yang ingin Crowde capai. Ia pun mengingatkan, jumlah petani di Indonesia ada 26,1 juta. Dari kacamatanya, angka belasan ribu yang telah ia rangkul masih terbilang kecil.

Tim Crowde berkembang pesat dalam waktu dua tahun saja.
Yohanes membimbing timnya dengan jiwa leadership yang ia dapatkan selama menimba ilmu di Prasmul.

Lebih dari angka, kami ingin membuat petani merasa bangga kembali akan pekerjaannya.

“Mengembangkan bisnis startup, saya dipaksa untuk terus refleksi pada diri sendiri,” Ujar Yohanes. “What are you good at? What are you NOT good at? Kita nggak akan bisa bohong dan akan selalu rendah hati dalam prosesnya.”

Dari cerita Yohanes, dapat dipetik bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Apakah kamu turut terinspirasi? Ikuti kisah alumni Prasmul lainnya di Ceritaprasmul! (*SDD) 

mm

Sky Drupadi

Add comment

Translate »