Cerita Prasmul
Memahami Makna “Intelligence” Dalam Artificial Intelligence

Memahami Makna “Intelligence” Dalam Artificial Intelligence

“Walaupun saya sudah memiliki kewarganegaraan, saya masih harus melalui bea cukai untuk masuk ke negara Indonesia,” canda Sophia, mesin cerdas ciptaan Hanson Robotics dalam kunjungan kali pertamanya ke Jakarta. Robot yang dapat berbicara dan berekspresi layaknya manusia ini menjadi sorotan utama dalam ajang 2019 CSIS Global Dialogue pada 16-17 September lalu di Hotel Borobudur. Sophia menunjukkan kepiawaian berdialognya bersama intelligence keynote speakers dan tamu undangan. Beberapa peserta umum pun dapat kesempatan untuk melontarkan pertanyaan dan berbincang dengan sang robot.

2019 CSIS Global Dialogue diselenggarakan untuk mendiskusikan perkembangan teknologi yang sudah ada dan potensi di masa depan. (sumber: CSIS 2019)

Sophia merupakan alat yang tepat untuk memperkenalkan konsep Artificial Intelligence (AI) pada dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Namun Sophia sebaiknya tidak dijadikan tolok ukur potensi AI di masa depan. Lebih dari perangkat penghibur, teknologi AI dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi serta kesejahteraan manusia.  

Kekhawatiran Berumur 200 Tahun

Dampak positif teknologi tidak selalu terlihat pada pertemuan pertama. Nyatanya, banyak orang khawatir bahwa kebutuhan terhadap sumber daya manusia akan berkurang di era Industri 4.0 akibat technology takeover. Salah satu keynote speaker 2019 CSIS Global Dialogue, Luke Hutchinson (Founding Member Google AI Lab dan Council Member GLG), tidak menyangkal kemungkinan bahwa pekerjaan manusia akan dilengserkan oleh teknologi. Tapi pada saat yang sama, ia mengungkap bahwa rasa panik itu sudah ada sejak Revolusi 1.0, lebih dari 200 tahun yang lalu.

Luke Hutchison merupakan salah satu keynote speaker dalam acara 2019 CSIS Global Dialogue.

“Sudah lama manusia takut bahwa pekerjaannya akan diambil alih oleh robot,” kata Luke. “Waktu demi waktu, manusia membuktikan pula bahwa bidang pekerjaan baru, yang lebih baik, terciptakan dalam laju yang tidak kalah cepat.”

Pada pernyataan tersebut, James Ward (CEO Epistemology dan Council Member GLG), turut menambahkan, “Kesalahan terbesar dalam menghadapi produktivitas teknologi adalah memikirkan siapa yang akan tergantikan melainkan yang akan diuntungkan. Memang benar, perkembangan ini akan menghilangkan beberapa pekerjaan. Namun selalu ada ruang untuk migrasi ke pekerjaan baru dan belajar lebih banyak lagi.”

Artificial Intelligence VS Intelligence Amplification

Meskipun Artificial Intelligence bukan merupakan ancaman, Luke mengingatkan untuk tidak terlalu bergantung pada “kecerdasan” mesin. Self-driving cars, produk yang mulai populer di pasaran, ia tunjuk sebagai salah satu contoh ketika manusia meletakkan terlalu banyak kepercayaan pada automasi, sehingga menyebabkan kecelakaan.

James Ward (tengah) meyakinkan bahwa pekerjaan baru akan selalu ada untuk sumber daya manusia.
Sophia the Robot dengan Don Campbell (PECC Chair, Canada) dan Mari Elka Pangestu (Co-Chair PECC Commitee Indonesia). (sumber: CSIS 2019)

Luke menyampaikan bahwa manusia perlu memahami makna kata ‘intelligence’ (kecerdasan) yang terdapat pada Artificial Intelligence. Bagi mesin, kecerdasan hanya sebatas pembelajaran yang dipantau maupun tidak dipantau, reinforcement learning, serta symbolic reasoning. Mesin akan dianggap cerdas ketika dapat menciptakan inovasi lebih hebat dan cepat daripada manusia, suatu hal yang belum terjadi hingga saat ini. 

“Dengan istilah AI, orang berasumsi bahwa mesin yang memiliki kecerdasan. Maka dari itu saya lebih suka menggunakan istilah IA, yaitu Intelligence Amplification,” tutur Luke. “Kemampuan tubuh serta otak manusia diamplifikasi ketika berinteraksi dan mengontrol mesin. Mobil membuat manusia lebih cepat dan kuat, namun yang mengendarai tetap manusia. Demikian pula AI atau IA, ia mengamplifikasi kemampuan otak manusia dalam memproses informasi. Tapi pada akhirnya, manusia lah yang memiliki kecerdasan sesungguhnya.”

Menelusuri Kemampuan Artificial Intelligence di Indonesia

James Ward menyampaikan bahwa industri manufaktur merupakan sektor yang paling merasakan kehadiran AI. Automasi membuat kegiatan produksi semakin efisien, sehingga mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi ia meyakinkan bahwa AI akan jauh bersinar di sektor industri lainnya.  

2019 CSIS Global Dialogue dihadiri peneliti, akademisi, mahasiswa, dan teknologiwan. (sumber: CSIS 2019)

“Misalnya di area kesehatan; untuk menyembuhkan penyakit, membuat obat-obatan, bahkan membuat lengan artifisial,” James menjelaskan. “AI pun dapat digunakan di bidang ekonometrika, sampai perancangan kebijaksanaan sosial atau pemerintah. Mesin bisa menghasilkan kekayaan intelektual yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh manusia.”

Penjelasan itu selaras dengan harapan Bapak Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia) mengenai aplikasi teknologi AI di dalam negeri. 

Bapak Rudiantara menjelaskan perkembangan teknologi di era yang dikuasai Millenials.

“Pemerintahan harus mulai mengembangkan AI untuk mengakomodasi masyarakat,” ia menyatakan. “Kurang lebih 80 juta warga Indonesia adalah Millenials yang tumbuh dengan teknologi. Pemerintah harus mengubah mindset, tidak hanya menjadi regulator tapi juga menjadi fasilitator dan akselerator, terutama dalam mengembangkan bisnis startup.


Ajang 2019 CSIS Global Dialogue merupakan kolaborasi antara Universitas Prasetiya Mulya, Centre for Strategic and International Studies, Plug and Play Indonesia, dan Pacific Economic Cooperation Council yang berlangsung pada 16-17 September 2019 di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara ini diselenggarakan untuk mendiskusikan perkembangan teknologi yang sudah ada dan potensi di masa depan, terutama untuk menyongsong kehidupan manusia di bidang produksi, ekonomi, perdagangan, kesehatan, dan lainnya.

mm

Sky Drupadi

Add comment

Translate »