Cerita Prasmul
Beranilah Ber-Indonesia I Artikel oleh Dosen Universitas Prasetiya Mulya

Beranilah Ber-Indonesia I Artikel oleh Dosen Universitas Prasetiya Mulya

oleh

Ade Febransyah

Dosen Universitas Prasetiya Mulya

unnamed

 

Dimana sebenarnya kekuatan kita? Coba sadari, apa yang membanggakan kita sebagai bangsa? Sudahkah ibu pertiwi tersenyum bangga, melihat anak bangsanya sudah bermahakarya? Atau sesungguhnya ia bersedih, melihat para pemalas yang senangnya mengambil jalan pintas, atau menangis menyaksikan sebagian rakyatnya bekerja keras sebatas mencari beras?

Beruntung kita masih memiliki simpanan berharga di dalam bumi. Hasil tambang, minyak, gas masih penggerak roda ekonomi. Beruntung pula tanah kita masih subur  memberikan hasil pertanian dan perkebunan untuk dinikmati. Beruntung juga para prinsipal asing memproduksi disini sehingga jutaan keluarga dapat terhidupi. Namun kedepan, peruntungan seperti di atas perlu ditingkatkan kualitasnya. Sebaik-baiknya peruntungan adalah yang berasal dari kekuatan sendiri yang tidak lekang dengan waktu. Seperti apa kekuatan tersebut?

Kekuatan asing

Selalu menjadi tantangan bagi setiap negara untuk dapat terus kompetitif dalam persaingan global. Amerika Serikat selalu menjadi rumah yang nyaman bagi lahirnya penginovasi-penginovasi di berbagai sektor industri. Silahkan lihat perusahaan-perusahaan yang menjadi langganan di peringkat perusahaan inovatif sedunia; perusahaan asal Amerika Serikat begitu mendominasi di sektor teknologi informasi, telekomunikasi, produk dan proses industri. Bahkan untuk urusan industri kreatif seperti musik dan film, Amerika Serikat terus menjadi kiblatnya.

Dari Eropa, perusahaan-perusahaan asal Jerman selalu terkenal dengan produk teknologi berkualitas tinggi. Ditambah dengan kekuatan dalam memproduksi alat permesinan dan robotik super presisi. Inilah yang membuat Jerman selalu unggul di sektor riil. Italia selalu menjadi tempat berkarya para pengkreasi produk berdesain kelas dunia, mulai dari otomotif, sepatu hingga lampu dekorasi. Inggris masih menjadi referensi pelaku di industri musik.

Di Asia, Jepang masih mencoba mempertahankan hegemoninya. Diiikuti oleh macan Asia lainnya, Korea Selatan yang sudah menginvasi dunia bukan hanya lewat produk elektronik, otomotif, dan alat beratnya tapi juga K-Pop nya. Dan akhirnya China yang sepertinya tak tertahankan lagi untuk menjadi penguasa dunia. Merekalah bangsa pembuat, yang mampu membuat hampir apa saja.

Kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut di atas selalu berperilaku gesit, mencari pasar di luar negaranya. Di tengah liberalisasi di berbagai sektor, Indonesia sebagai emerging market (negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi) menjadi begitu menarik bagi siapapun penyedia barang dan jasa. Pasar domestik menjadi ajang pertarungan produk luar dan dalam negeri. Tidak ada nasionalisme dalam memilih. Produk yang lebih berkualitas dan lebih terjangkau, itulah yang dipilih. Dapat menjadi kejam bagi pelaku bisnis lokal, tapi tidak bagi masyarakat pengguna. Konsumen di sini sepertinya begitu menikmati yang datang dari luar.

Lihat saja kehadiran produk makanan minuman serba Amerika, Eropa, Korea, Jepang, Taiwan, begitu diminati orang kita. Ritel furnitur kenamaan asal Swedia yang baru buka disini langsung diserbu pengunjung. Antrian panjang dan kesulitan mendapatkan parkir tidak menjadi masalah. Masyarakat di sini sudah terhipnotis oleh yang serba asing. Hal yang sama dengan ritel-ritel pakaian asal luar negeri. Laris manis. Dalam urusan kuliner juga demikian. Restoran bercitarasa barat, oriental, bahkan dari lingkungan regional Asean pun tidak pernah sepi pengunjung.

Lantas apa yang menjadi kekuatan asing tersebut? Terkecuali produk-produk berteknologi tinggi, barang atau layanan dari luar negeri sebetulnya tidak selalu lebih hebat dari produk lokal. Dalam urusan makanan misalnya, silahkan diadu mana yang lebih pas di lidah orang kita, makanan luar atau Indonesia. Orang yang lahir dan lama hidup di sini hampir dipastikan akan menikmati masakan nusantara. Lantas apa yang membuat produk serba asing menjadi unggul?

Salah satunya kekuatan dalam mengkonsep produknya. Ambil contoh kedai kopi kenamaan asal Amerika Serikat yang menjadi pionir kedai-kedai kopi sejenis di Tanah Air. Konsepnya ternyata bukan sekedar penyedia layanan untuk mereka yang ingin minum kopi. Lebih dari itu, konsepnya adalah memfasilitasi interaksi sosial antara profesional, masyarakat moderen dalam suasana nyaman sambil minum kopi. Juga lihat bermunculannya institusi pendidikan mulai dari usia dini hingga pendidikan tinggi yang bercitarasa internasional. Selalu menarik para orang tua lewat konsep layanan pendidikan yang lengkap.

Inilah kenyataan yang ada sekarang ini. Konsep yang datangnya dari luar ditelan begitu saja tanpa dikritisi. Untuk layanan pendidikan misalnya, para orang tua lebih menanyakan urusan fasilitas, uang sekolah/kuliah, tanpa peduli siapa tenaga pengajarnya dan kualifikasinya. Untuk layanan kesehatan, setali tiga uang. Pasien sudah terpukau dengan polesan superfisial dari fasilitas moderen. Ketika berada di dalamnya, yang dirasakan adalah layanan setengah hati, miskin ruh melayani. Yang dilihat di kepala pelanggan selalu nilai rupiah atau dollar untuk diekploitasi.

Kekuatan nilai lokal

Menghadapi serbuan produk luar tidak perlu disikapi secara pesimis oleh pelaku bisnis lokal. Yang serba asing tidak selalu berhasil. Sehebat-hebatnya polesan, kemilau produk luar tidak membuat masyarakat buta akan keunggulan nilai produk lokal. Jika yang ditawarkan layanan asing adalah yang serba moderen, serba bersih, serba nyaman, serba berkualitas, serba mahal, maka pelaku lokal tidak perlu menyamainya. Tawarkanlah konsep bisnis bernilai tinggi khas Indonesia.

Jika di kebanyakan sekolah berkiblat internasional, membangun iklim kompetisi nan kejam menjadi keharusan, sekolah berjati diri Indonesia justeru menekankan pada semangat menjaga keharmonian dalam mencapai kemajuan. Keluaran proses pendidikannya adalah individu-individu berkemampuan yang tetap membumi; bukan para oportunis cerdas miskin jiwa berbagi. Jika di kebanyakan perusahaan yang serba internasional, konsep layanannya begitu sistematis dan terstandarisasi, maka itu bukan keharusan untuk pelaku bisnis lokal. Buat pelaku lokal, konsep layanan harus berasal dari kesabaran dan empati mendalam terhadap masyarakat yang dilayani.

Sabar dan empati tidak untuk diprosedurkan. Sabar dan empati akan memanusiakan mereka yang dilayani. Inilah kekuatan nilai yang sudah ditanamkan para orang tua, guru-guru sekolah dan agama kita dulu. Jika terus berlanjut, jangan terlalu kawatir dengan kekuatan sendiri. Beranilah berIndonesia!

 

 

Add comment

Translate »