Cerita Prasmul
Barroso: Uni Eropa Contoh Sukses Globalisasi

Barroso: Uni Eropa Contoh Sukses Globalisasi

Di tengah berbagai debat seputar keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Jose Manuel Barroso berpendapat Uni Eropa adalah contoh sukses bagaimana globalisasi terjadi.

Menurutnya globalisasi membawa nilai positif bagi kemanusiaan, khususnya yang ia alami di Uni Eropa. “Saya mendukung globalisasi yang menjawab (tantangan) nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai yang selama ini dihayati bersama di masyarakat Uni Eropa; martabat manusia, kebebasan, hak-hak asasi manusia, anti-diskriminasi berbasis jender, agama dan suku”, argumennya.

Mantan Presiden Uni Eropa, Jose Manuel Barroso dipandu Marie Elka Pangestu membawakan kuliah publik tentang pemerintahan

Ia menyanggah pendapat yang menyatakan Uni Eropa gagal dengan peristiwa keluarnya Inggris dari Masyarakat Uni Eropa, yang dikenal dengan istilah Brexit. “Keluarnya Inggris tak serta merta meniadakan sejarah panjang masyarakat Eropa dan dunia yang diuntungkan dengan integrasi Eropa,” katanya. Seraya menambahkan karenanya Uni Eropa merupakan contoh keberhasilan globalisasi.

Dalam globalisasi di masyarakat Uni Eropa, terjadi pertukaran bukan hanya barang dan jasa secara leluasa, tetapi juga gagasan, ilmu, tenaga ahli yang saling mengisi dan memerlukan pendekatan bersama yang mengandaikan adanya tanggungjawab bersama dan solidaritas. Ia mengakui tak bisa mengabaikan adanya kepentingan nasional di semua negara. “Tetapi tidak  bisa melihat hak-hak kita lebih penting dari yang lain,” ungkapnya. Maka, kepemimpinan itu menjadi penting di sini; kepemimpinan tidak sama dengan dominasi.

Pendapat itu diungkapkan Barroso dalam kesempatan kuliah umum yang bertajuk “From National to Regional and Global Governance” yang diselanggarakan Universitas Prasetiya Mulya, bekerjasama dengan Yayasan Perdamaian Internasional atau International Peace Foundation (IPF) berbasis di Vienna, Italia, Rabu (25/01/2017) lalu.

Kuliah Barroso itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan The 6th ASEAN “Bridges Dialogues Towards a Culture of Peace”, yang diselenggarakan oleh IPF di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dari Januari hingga Maret 2017 mendatang. Kuliah dan ceramah untuk publik berseri itu disampaikan oleh 20 peraih Nobel dari  berbagai bidang, antara lain bidang ekonomi 2007 Prof. Eric Stark Maskin, bidang perdamaian 2012 Jose Manuel Barroso, bidang fisika 1979 Prof. Sheldon Lee Glashlow, bidang kedokteran 1993 Dr Sir Richard J Roberts, bidang ekonomi 2003 Robert Fry Eugle III, bidang fisika 1990 Prof. Jerome Isaac Friedman, dan Nobel bidang kimia 2003 Dr Peter Agre.

Di sesi pembuka yang diselenggarakan secara internal bersama dua pembicara dari Universitas Prasetiya Mulya, Achmad Setyo Hadi dan Waluyo Martowiyoto, Barroso membagikan pengalaman perjalanan panjang negara-negara di Eropa dalam menghadapi multikulturalisme.  Multikulturalisme ini merupakan fakta tak terbantahkan yang muncul dengan globalisasi. Dengan globalisasi ada pertukaran sumber daya manusia dan tempat, yang memastikan bertemunya perbedaan kultur. Di sinilah penting orang saling memahami dan mampu menyesuaikan diri dengan beragam kebudayaan.

Diskusi dan dialog terjadi setelah Waluyo menyampaikan fakta adanya multikuralisme di Indonesia di bawah tiga tokoh kepemimpinan nasional yang berbeda di era pemerintahan Soekarno, Soeharto dan setelah masa reformasi. Setyo Hadi sendiri memaparkan mengenai hasil penelitiannya seputar komisi Eropa yang multikultur dan pentingnya lembaga pendidikan berperan memajukan terwujudnya multikulturalisme yang damai di Indonesia. Ia mencontohkan salah satunya dengan melakukan berbagai program sosial.

Mendapat kain ulos dari beberapa petinggi Universitas Prasetiya Mulya

Bagian dari Evolusi

Tekanan globalisasi sebagai fenomena kemanusiaan yang tak bisa dibendung, juga disampaikan Djisman Simandjuntak, rektor Universitas Prasetiya Mulya dalam pengantar kuliah umum yang disampaikan Barroso. Dalam konteks globalisasi itu Djisman menekankan pentingnya dialog dan saling berbagi. “Kita,  sebagai manusia, perlu bicara satu sama lain, melampaui batas-batas kesamaan ideologi, etnisitas, agama, kepercayaan kita dan lain-lain”, katanya seraya menambahkan pentingnya kehadiran Barroso untuk berbagi pengalaman dalam konteks Uni Eropa dan bagaimana masyarakat terintegrasi itu mewujudkan perdamaian.

Dalam sebuah dialog, “kita harus melintasi perbedaan-perbedaan kita, mencapai dunia geografi, dunia pengetahuan, dunia kebudayaan  yang lain yang lebih luas,” dengan demikian membuka kesadaran dan nilai-nilai baru yang membantu terwujudnya perdamaian. Itu semua terjadi dalam globalisasi saat ini. “Globalisasi adalah bagian dari evolusi, dan bukan hanya evolusi manusia,” katanya dengan menambahkan bahwa perkembangan teknologi adalah salah satu contohnya.

Mari Elka Pangestu, yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Prasetiya Mulya, memandu beberapa pertanyaan peserta yang cenderung kuatir dengan beberapa fenomena dunia yang terjadi akhir-akhir ini, salah satunya  dengan terpilihnya Donald Trump yang dinilai banyak pihak sebagai pemimpin yang radikal dan anti globalisasi.

Foto bersama jajaran Yayasan Prasetiya Mulya, Pejabat Universitas Prasetiya Mulya, Duta Besar Portugal dan International Peace Foundation

Barroso menjawab dengan keyakinan bahwa globalisasi sudah terjadi dan tak terbendung, tidak oleh siapapun dan pemimpin manapun. Terbukti dengan kemajuan teknologi yang melahirkan internet dengan media sosial dan fenomenanya, yang punya punya komunitas dan pemimpinnya sendiri. Oleh karenanya, kepemimpinan yang terbuka dan berprinsip menjadi penting dan itu salah satunya ditunjukkan pada generasi muda saat ini.*(HRM)

Add comment

Translate »