Cerita Prasmul
BIOS Hackathon 2019: Membuat Aplikasi Dalam Waktu 24 Jam

BIOS Hackathon 2019: Membuat Aplikasi Dalam Waktu 24 Jam

Tanggal 14-15 Oktober menjadi hari yang paling melelahkan bagi Dimas Pratama, Fitriaji Taqiy, Hubert Tatra, dan Max Muljono. Sebelum merebut gelar juara tiga dalam ajang BIOS Hackathon 2019, keempat mahasiswa S1 Software Engineering tersebut menghabiskan 24 jam penuh untuk membangun sebuah aplikasi dari nol yang mereka namakan Restovasi.

Hackathon atau akrab juga disebut Hackfest adalah salah satu jenis kompetisi software development.  Dalam waktu 24 hingga 72 jam, para programmer akan bekerja dalam grup untuk menciptakan sebuah aplikasi yang berfungsi hampir sempurna.

Banyak kisah menarik yang dilalui peserta Hackathon, seperti yang diungkapkan oleh Dimas, Fitriaji, Hubert, dan Max selama menciptakan Restovasi. Mulai dari sulitnya menemukan waktu dan tempat untuk tidur, kegagalan dalam menjalankan aplikasi, sampai ketidaksiapan untuk mempresentasikan aplikasi, semuanya terjadi hanya dalam waktu 24 jam. Lantas, aplikasi apakah Restovasi itu? Simak penuturan kelompok pada Ceritaprasmul berikut ini.

RESTOVASI: RESTORAN + RESERVASI

Restovasi merupakan aplikasi yang menggunakan image recognition dalam pengoperasiannya agarpengguna bisa melihat ketersediaan dan melakukan reservasi tempat duduk di sebuah restoran. Agar aplikasi bisa berjalan sesuai keinginan, kelompok harus mengintegrasikan empat aplikasi berbeda untuk server, image recognition camera, restoran, dan pelanggan.

Ide pembuatan Restovasi ini muncul karena kesulitan yang dialami oleh keempat anggota kelompok saat mencari tempat untuk mengerjakan proposal BIOS Hackathon. “Kalau cuma sekali, mungkin bukan jadi masalah, ya,” tutur Dimas. “Masalahnya, empat kali kami cari tempat untuk bikin proposal, empat kali juga kami nggak dapat tempat duduk,” jelasnya. 

Usai mendapatkan ide, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan kelompok adalah melakukan riset di pasar sebagai data pendukung. “Not so surprisingly, banyak orang-orang yang mengalami masalah yang sama, terutama saat weekend,” Hubert menceritakan.

Kemampuan problem solving memang merupakan salah satu kriteria penilaian utama dalam BIOSHackathon 2019. Dengan smart city sebagai tema utama acara ini, semakin ‘hangat’ isu yang diangkat, semakin besar pula peluang untuk menang. 

Dimas menceritakan, “Satu hal yang kamipelajari, ternyata ngambil masalah yang ada di sekitar kita aja belum cukup.” Ia pun menambahkan, “Contohnya, juara pertama mengangkat masalah parkiran, juara dua mengangkat masalah fasilitas untuk disabilitas. Kelihatan, kan, social impact yang mereka ciptakan? Next time pasti kami akan angkat isu-isu seperti itu.” 

JANGAN LUPAKAN ASPEK BISNISNYA

“Ini memang kompetisi teknologi, tapi perlu diingat sustainability dari aplikasinya juga,” ujar Hubert. Menurutnya, masih ada peserta yang hanya fokus dalam menciptakan aplikasi dengan teknologi terkini. Padahal, programmer seharusnya juga memikirkan aspek bisnisnya, “Coba, kalau teknologinya bagus tapi nggak user-friendly, siapa yang mau install?” lanjutnya.

Pada saat-saat seperti itu lah kelompok merasakan dampak positif dari mata kuliah Introduction to Engineering and Design, Mobile Application Development, dan Software Project Management. “Karena pelajaran itu, kami jadi lebih mudah melihat big picture pembuatan software,” jelas Aji. Lebih lanjut, Hubert menambahkan, “Dari big picture, kamijadi memikirkan scalability dari aplikasi ini seperti apa; kesempatan kolaborasi apa yang timbul karena aplikasi ini.”

PENTINGNYA MANAJEMEN STRATEGI

Normalnya, pembuatan aplikasi membutuhkan tiga sampai empat minggu untuk diselesaikan. Maka dari itu, menyelesaikannya dalam 24 jam saja pastinya menjadi tantangan besar. “Untuk menghemat waktu, kami hanya menetapkan milestone bahwa di jam berapa harus selesai apa, tapi hampir nggak ada pembagian tugas yang pasti,” ungkap Max. Langkah tersebut diambil agar setiap anggota lebih fleksibel dalam mengambil alih tugas-tugas yang dianggap sulit.

Tak hanya cara kerja, membagi jadwal tidur pun ternyata membutuhkan strategi. Keterbatasan area tidur serta padatnya timeline pekerjaan merupakan alasannya. “Kami tidur ya cuma sekadar ngilangin capek aja,” sebut Dimas sembari tertawa. Hubert menambahkan, “Karena panitia cuma ngasih satu area tidur yang selalu penuh, kami jadi tidur dimanapun. Ada yang di atas meja, di atas kursi yang disusun, di lantai; di mana pun yang bisa, deh!” 

Rasa lelah karena mengikuti kompetisi ini cukup untuk membuat Aji, Dimas, Hubert, dan Max mengurungkan niat untuk mengikuti Hackathon dalam waktu dekat. Meski demikian, keempatnya tidak kapok mengikuti  kompetisi macam ini, “Kreativitas kami kan nggak berbatas. Nah, kami masih butuh Hackathon untuk menyalurkan ide yang kami punya,” tutup aji.

Witha Shofani

Add comment

Translate »